Oleh: Aat Hidayat | 26 Juli 2019

Ramadan dan Spirit Iqra’

Oleh Aat Hidayat, M.Pd.I.

Salah satu barometer kemajuan sebuah bangsa adalah tingkat literasi bangsa tersebut atau kemampuan bangsa tersebut dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan dan kemajuan kehidupan dan peradaban. Semakin tinggi tingkat literasi sebuah bangsa, semakin maju peradaban bangsa tersebut. Sebaliknya, semakin rendah tingkat literasi sebuah bangsa, semakin rendah peradaban bangsa tersebut.

Misalnya, bisa kita lihat kemajuan bangsa-bangsa Eropa, negara Amerika Serikat, dan negara Jepang. Kemajuan negara-negara tersebut berbanding lurus dengan tingkat literasi masyarakatnya. Demikian pula kemajuan negara tetangga serumpun kita, Malaysia, yang menyalip kemajuan negara kita terutama di bidang pendidikan, dipengaruhi oleh tingkat literasi masyarakatnya. Hal yang membuat miris adalah tingkat literasi bangsa Indonesia menurut hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA), yang menyatakan bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012 menempati urutan ke-64 dari 65 negara.

Ramadan Bulan Literasi

Selain sering disebut sebagai Syahr al-Mubarak, bulan penuh keberkahan, Ramadan juga adalah Syahr al-Qur’an, yakni bulan di mana Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. melalui perantara Malaikat Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad saw. Pada hari Senin malam tanggal 17 Ramadan tahun pertama kenabian, atau bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 Masehi, adalah kali pertama al-Qur’an diturunkan Allah swt. ke muka bumi. Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 185 ditegaskan, Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk (al-Huda) bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan sebagai pembeda (al-Furqan).”

Dengan melihat catatan sejarah dan landasan normatif ini, jelaslah bahwa bagi umat Islam, Ramadan sebenarnya sebuah momentum peradaban literasi yang ditandai dengan diturunkannya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. Apalagi jika melihat wahyu yang pertama kali diturunkan, yaitu Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5, yang artinya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia Telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang Mengajar (manusia) dengan perantaran Kalam. Dia Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Makna wahyu pertama ini semakin menabalkan spirit literasi yang seharusnya dibangun oleh umat Islam.

duniapendidikan.co.id

Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dimulai dengan sebuah perintah yang tegas, “Iqra’”, Bacalah! Dalam penjelasan M. Quraish Shihab, ahli tafsir Indonesia, makna Iqra’ dalam ayat ini tidak hanya dibatasi pada membaca sebuah teks. Namun, makna Iqra’ di sini sangat luas, yaitu mencakup mengetahui, meneliti, dan mendalami segala sesuatu, membaca tanda-tanda zaman, sejarah, sesuatu yang tertulis, dan sesuatu yang tidak tertulis. Kaitannya dengan literasi dan peradaban, spirit yang terdapat dalam kalimat perintah Iqra’ ini mencakup segala hal yang berkaitan dengan membaca dan membangun ilmu pengetahuan dan peradaban. Inilah sebenarnya yang telah menginspirasi para ulama dan ilmuwan Muslim tempo dulu ketika berhasil menorehkan catatan gemilang dalam bidang ilmu dan peradaban.

Dalam momentum bulan Ramadan ini sebenarnya langkah ke arah peningkatan literasi umat Islam terbuka lebar. Banyak tradisi literasi di bulan Ramadan yang bisa terus dibangun dan dikembangkan oleh umat Islam. Di antaranya adalah tradisi Tadarus al-Qur’an. Namun, kebanyakan tradisi Tadarus al-Qur’an hanya sebatas dilakukan dengan membaca secara tekstual, tidak dilanjutkan dengan menelaah dan mendalami maknanya. Atau, beberapa tahun terakhir ini, di saat bulan Ramadan, banyak para kiai dan ilmuwan Islam Indonesia yang melaksanakan tradisi Pasanan dengan membaca dan menelaah kitab kuning yang dilakukan secara online dan disiarkan langsung melalui media sosial semacam Facebook atau Youtube. Tradisi Pasanan ini sebenarnya sudah sejak lama dilakukan para kiai di pesantren-pesantren.

Idealnya tradisi literasi yang sangat baik ini harus terus dikembangkan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Dengan bertumpu pada khazanah keilmuan warisan para ulama, umat Islam diharapkan terus mendalami ilmu pengetahuan dan merumuskannya untuk membangun peradaban sesuai dengan tantangan yang dihadapi saat ini. Dengan tradisi literasi yang kuat, diharapkan umat Islam bisa kembali menggenggam dan menjadi lokomotif peradaban dunia. Semoga. [ ]

Keterangan:

Artikel ini dipublikasikan di Koran Jawa Pos Radar Kudus, Edisi 7 Juni 2018

Unduh:

Artikel Koran Jawa Pos Edisi 7 Juni 2018


Tinggalkan komentar

Kategori