Oleh: Aat Hidayat | 3 Juli 2022

Let’s Change: Bergerak di Zaman Penuh Ketidakpastian

“Bukan yang terkuat yang mampu bertahan, melainkan yang paling adaptif dalam merespons perubahan,” begitu penjelasan teori “survival of the fittest” yang dibangun oleh Charles Darwin (1809-1882).

*

Kata-kata tadi adalah salah satu kutipan dalam buku “Let’s Change!: Kepemimpinan, Keberanian, dan Perubahan” karya pakar manajemen dan guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Rhenald Kasali, Ph.D. Walaupun merupakan kumpulan tulisan yang pernah dimuat di Koran Kompas, karya penulis produktif yang telah menelorkan sekitar 24 buah buku ini memiliki benang merah. Bahwa dalam hidup yang serba cepat ini terus bermunculan masalah-masalah baru yang sulit dipecahkan dengan pola pikir dan cara lama. Masalah-masalah tersebut harus dipecahkan dengan mengubah pola pikir yang strategis dan praktis.

Hampir di sepanjang lembar buku setebal 278 halaman ini, yang diterbitkan oleh Penerbit Kompas Jakarta pada tahun 2014, Prof. Rhenald Kasali berbicara tentang pola pikir strategis dan praktis tersebut. Menariknya, teori-teori perubahan dan manajemen dikemas dengan bahasa yang renyah dan contoh praktis dalam kehidupan. Dengan demikian, teori-teori rumit dapat dipahami dengan mudah dan sangat praktis untuk langsung diterapkan dalam kehidupan.

*

Di awal buku Let’s Change! ini, Prof. Rhenald Kasali langsung menggebrak kesadaran saya tentang arti perubahan, dengan menyajikan fakta: hanya dua tahun berkuasa (1999-2001), Presiden KH Abdurrahman Wahid mampu melakukan 10 perubahan; namun hampir 10 tahun memimpin Republik ini (2004-2014), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya bisa menggulirkan dua perubahan saja (hlm. 3). Pertanyaannya, kenapa bisa seperti itu, sebegitu beratkah melakukan perubahan?

Ya, melakukan perubahan, apalagi bagi seorang pemimpin, bukan pekerjaan mudah seringan membalikkan telapak tangan. Ia akan menghadapi tantangan, hambatan, dan bahkan penolakan dari orang-orang pendukung status quo yang nyenyak bernaung di zona nyaman. Hal ini selaras dengan pernyataan Kurt Lewin, seorang ilmuwan, yang menyatakan bahwa perubahan besar memerlukan tahap pencarian, karena orang-orang yang berpikiran lama ingin mempertahankan kekuasaan, wewenang, dan rasa nyamannya. Maka, genderang perubahan yang ditabuh seorang pemimpin akan selalu menimbulkan kegaduhan, kritik, bahkan pertentangan. Sebab, manusia sejatinya menginginkan perubahan, tetapi tidak mau diubah.

Pertanyaannya, maukah seorang pemimpin mengambil risiko untuk ditentang, dibenci, difitnah, bahkan didongkel dari kursi kepemimpinannya saat menggulirkan perubahan, atau menghindari risiko tersebut demi mengamankan kursi kekuasaannya? Jika seorang pemimpin memilih opsi yang kedua, tidak mau mengambil risiko perubahan, maka tak akan pernah ada perubahan terjadi, yang ada hanya rutinitas yang begitu-begitu saja, mandeg; tak ada pembaruan, tak ada kemajuan.

*

Masih terkait dengan perubahan, sangat jarang orang mau melakukan perubahan dengan dorongan internal dan kesadaran. Biasanya orang mau melakukan perubahan karena dorongan eksternal dari luar, karena ada kebutuhan mendesak, bahkan karena krisis yang mengharuskannya berubah.

Terkait kata “krisis”, ada kekeliruan paradigma berbahasa dalam mengartikan kata tersebut. Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadali, kata “crisis” diartikan dengan “gawat, genting, kemelut”. Padahal, di Amerika dan China, kata “crisis” didefinisikan dengan lebih positif dan optimistis. Di Amerika, “crisis” diartikan sebagai titik belok yang menuntut terjadinya perubahan untuk menjadi lebih baik atau sebaliknya lebih buruk. Sementara, di China, kata tersebut didefinisikan dengan sebuah pilihan: bahaya dan kesempatan (hlm. 22).

Dalam paradigma tafsir yang pertama, krisis mengesankan sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Dalam paradigma tafsir bahasa di Amerika, krisis dipandang sebagai keadaan yang mendorong kita untuk berubah ke arah yang lebih baik; jika acuh dan diam saja, alamat keburukan yang akan menimpa. Sementara itu, dalam bahasa China, krisis dianggap sebagai kesulitan yang menandai kesempatan untuk mengatasi kesulitan tersebut dan melakukan perubahan.

shopee.co.id

Dengan tafsir-tafsir tadi, sejatinya krisis atau kesulitan itu bukan sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Ia seperti jamu pahit yang akan mengobati penyakit yang bersarang di dalam raga. Dalam bentangan sejarah manusia, betapa banyak bangsa besar yang ditempa dan dididik oleh krisis, ancaman, dan kesulitan. Setelah berjuang menghadapi krisis tersebut, akhirnya bangsa-bangsa tersebut keluar sebagai pemenang dan bangkit menjadi bangsa besar.

Kita lihat Jepang. Setelah bangsa tersebut porak poranda diluluh-lantakkan bom atom, dengan bertumpu pada “guru”, mereka bangkit melakukan perubahan sampai akhirnya menjadi negara kecil yang sangat diperhitungkan dunia. Maka, jangan takut dengan krisis, jangan menghindar dari kesulitan. Hadapilah, belajarlah darinya, dan jadilah pemenang, agen perubahan. Dan, yang paling penting, hormatilah “guru”. Sebab, beliaulah agen yang memasukkan dan menghidupkan virus-virus perubahan ke dalam otak dan sanubari para generasi bangsa calon pemimpin perubahan di masa depan.

*

Pola pikir dan kesadaran akan pentingnya perubahan tidak akan cukup tanpa didukung oleh kesatu-paduan sebuah tim penggerak perubahan. Sebab, perubahan sering diibaratkan sebagai upaya menghubungkan dua titik terpisah (connecting the unconnect) sehingga peta menjadi amat penting (hlm. 207).

Dalam hal ini, Prof. Rhenald Kasali mencontohkan visi dan impian untuk menghidupkan bisnis pariwisata Indonesia yang telah tertidur selama 17 tahun. Lewat gagasan Visit Indonesia 2008, pemerintah waktu itu mencanangkan Tahun Kunjungan untuk merengkuh 7 juta wisatawan mancanegara (hlm. 232).

Apakah gagasan itu berhasil? Tidak sepenuhnya mulus, bahkan masih jauh dari target yang diharapkan. Di mana simpul masalahnya? Di ketiadaan tim yang satu padu bergerak bersama demi mewujudkan sebuah gagasan. Bagaimana tidak, di saat pemerintah gencar menggemakan Visit Indonesia 2008, kesemrawutan pengelolaan bandara masih terjadi, manajemen pariwisata masih berantakan, bahkan banjir di ibukota masih menjadi kendala (hlm. 232). Bukan Visit Indonesia 2008 yang terjadi, yang ada adalah Visit Banjir Indonesia 2008 (hlm. 236).

Di sinilah pentingnya alignment, kesatu-paduan dan kekompakan sebuah tim yang akan mengawal dan menjalankan genderang perubahan yang telah ditabuh oleh seorang pemimpin. Ketiadaan persatuan, adanya misalignment, tidak akan mampu membawa kita pada perubahan yang diharapkan. Dengan misalignment, yang terjadi adalah ketidakmampuan kita memecahkan masalah-masalah besar yang berdampak sistemik (hlm. 100). Tidak hanya persatuan yang diraih dari sebuah alignment, ia juga mencerminkan sebuah kepemimpinan yang kuat, inisiatif dan kelincahan, serta arah (direction) yang jelas (hlm. 101). Sebab, tiada artinya paradigma perubahan, alignment sebuah tim, tanpa didukung ke mana arah perubahan akan menuju.

*

Sangat banyak bulir inspirasi dan motivasi yang dikemukakan Prof. Rhenald Kasali di sepanjang buku Let’s Change! ini. Ini buku bukan hanya diperuntukkan bagi para manajer atau para pemimpin saja. Kita yang hidup di zaman now yang serba cepat dan serba tidak pasti ini sangat memerlukan energi besar dalam buku ini untuk melakukan dan mengiringi perubahan. Hanya orang mandeg dengan pola pikir lama dan terlena di zona nyaman sajalah yang akan tergilas oleh deru perubahan yang semakin menggila dan terlindas oleh roda sejarah. Berhati-hatilah. Bangunlah, dan segera bangkit bergerak menyongsong mentari masa depan.

Akhir ulasan ini akan saya tutup dengan dua buah kutipan inspiratif dari Albert Einstein, seorang fisikawan gaul itu.

“Ukuran kecerdasan bukan terletak pada kebiasaan memakai alat-alat lama, tetapi pada kemampuan untuk berubah.”

“Kita tidak dapat memecahkan problem baru dengan menggunakan cara penyelesaian yang lama.”

So, let’s change, or you’ll die! [ ]


Tinggalkan komentar

Kategori